Thursday, May 11, 2006

The Java Chronicles

Apa yang akan saya ceritakan adalah serangkaian hikayat yang terjadi selama perantauan saya di daerah-daerah eksotis jawa tengah. Tentu saja, ini adalah bagian dari pekerjaan saya. Diberi kesempatan untuk bermain-main, menyenangkan bukan?

Hari Pertama
Inverter Interference.
Waktu saya habis terpangkas setengah hari karena harus mencari jack inverter yang bisa ditancapkan ke cigarette lighter. Sebenarnya bukan masalah jacknya, tapi gara-gara kami nyasar di tempat yang salah. Karena keterbatasan kepandaian orang-orang di bengkel itu. Sekering mobil kami malah putus. Si montir gadungan lebih memeras waktu kami dengan membongkar dashboard mobil. Padahal cukup mengganti sekring, masalah sudah beres.

Saya merasa sangat terbantu dan menjadi percaya diri bahwa pekerjaan ini akan mudah karena panduan GPS receiver dan laptop yang terus dapat menyala 24 jam di mobil. Sekaligus, saya menjadi sangat tergantung dengan teknologi.

Tiga site pertama ditemukan dengan mudah dan menyenangkan karena kami bias melihat posisi kendaraan dan lokasi tujuan di peta pada layar laptop yang lebar. Rute perjalanan mencari site Windusari seolah menjadi napak tilas perjalanan saya ketika mengikuti acara kenaikan tingkat di perguruan silat Merpati Putih beberapa tahun silam. Selanjutnya, kami menghabiskan malam dengan menginap di rumah saya di Magelang.

Sepanjang perjalanan dari Ambarawa dan Magelang, saya menemukan beberapa lokasi menarik atas petunjuk Pak Tarigan (driver saya). Pertama adalah sebuah kafe dengan pemandangan menyongsong jalan. Kemudian, terlihat jejak rel kereta api menyusuri sawah dan bukit-bukit. Itu adalah jalur kereta wisata dari museum kereta api Ambarawa. Ternyata rutenya cukup jauh melewati beberapa kota dan pasti akan sangat layak sekali untuk dicoba. Terutama bersama orang-orang yang kita kasihi. Selanjutnya, saya menemukan pintu masuk ke Losari Coffee Plantation, sebuah tempat eksotis untuk menghabiskan bulan madu di tengah perkebunan kopi. Losari juga menyediakan paket kereta wisata tadi, jika saya tidak salah ingat.

Hari Kedua
Rural and Rural.
Tujuan hari ini menghabiskan site di wilayah Magelang dan Kulonprogo. Hanya site di Ngablak, Magelang, yang menyenangkan buat saya karena terletak dekat dengan objek wisata alam Kopeng. Udara sesejuk itu akan sangat susah saya dapatkan di Jakarta, walau memakai air conditioner terbaik.

Selanjutnya, site Kaliangkrik dan Margoyoso kami temukan dengan cukup mudah walau site kedua agak naik ke bukit. Di sini saya mula menyadari bahwa Telkomsel memang kaya karena hampir tiap lokasi yang akan kami tuju selalu terdapat tower milik mereka. Satu untuk tiap kecamatan, minimal.

Perjalanan ke Samigaluh terasa membosankan dengan kondisi jalan yang rusak. Selanjutnya kami keluar ke Wates. Kemudian, waktu kami terkuras oleh rute jalan yang jauh untuk mencapai Kebumen.

Hari Ketiga
Dikerjain Indosat.
Setelah menemukan site Ambal dan Mirit dengan mudahnya, saya berharap lokasi selanjutnya pun akan demikian. Namun harapan tak seindah kenyataan. Perjalanan ke site Karangsambung melewati jalan desa yang sudah hancur. Truk-truk ukuran sedang lalu lalang mengangkut karang dan kapur. Saya yakin, kendaraan-kendaraan itulah yang selama ini merusak jalan.

Saat itu sudah tengah hari. Saya berdiri di tengah sawah, mencari letak site Karangsambung. Saya mulai ragu dan merasa bahwa ada kesalahan koordinat. Semua site sebelumnya terletak di pinggir jalan. Namun di tengah sawah yang panas seperti ini, GPS receiver menunjukkan bahwa letak site tinggal beberapa puluh meter di depan. Namun di depan sama sekali tidak terlihat ada tempat yang layak. Di sana hanyalah terlihat sawah dan bukit. Bukit, ya.. bukit yang sangat tinggi. Saya mendongak. Dan terlihatlah sebuah tower di puncak bukit.

Sangat ngeri mengingat bagaimana mobil saya mendaki bukit itu. Saya tidak yakin bahwa di atasnya terdapat peradaban. Masih untung bukan musim hujan. Dengan kemiringan tanjakan yang sebagian besar melebihi 45 derajat, tanah becek yang licin akan melempar mobil ke jurang yang dalam. Akhirnya kami mencapai puncak bukit itu. Lokasi ditemukan.

Pengalaman Mistis.
Anda pernah melihat lambang Semar dengan angka 1610 di bawahnya? Selepas dari site Demangsari dan Binangun, kami menemukan jalan alternatif menuju Cilacap. Jalan itu begitu lurus dan panjang. Kami berangkat menuju barat saat sore. Menyongsong matahari terbenam.

Di sebuah perempatan sekitar kroya, kami mengunjungi tempat berkumpul sekte Semar 1610. Tempat ini berupa sebuah asrama besar dengan auditorium di depannya. Kalau tidak salah, namanya adalah Komunitas Penghayat Kepercayaan Cahya Buana. Ini adalah komunitas sinkretis yang memadukan kepercayaan Kejawen dengan sistem lainnya, termasuk kepercayaan Tionghoa. Di situ pun ada tempat untuk sholat.

Di sana terdapat ilustrasi wilayah kekuasaan Ratu Kidul, yang meliputi Laut Selatan dan beberapa gunung di pulau Jawa. Salah satunya adalah gunung Srandil, yang terdapat di dekat asrama itu. Terdapat juga hirarki kekuasaan kosmologi. Semar berada di posisi ketiga. Posisi keempat diduduki oleh Ratu Kidul. Posisi pertama saya agak lupa. Namanya kalau tidak salah Bapa Ibu Dunia atau semacamnya. Mungkin ini semacam Tuhan tertinggi bagi penganut kepercayaan ini.

Dari tempat itu, saya mengalami ketakutan luar biasa ketika kami mencoba mendaki gunung Srandil. Tak tahu siapa yang memulai ide gila ini. Mendaki gunung di ujung Laut Selatan yang gelap gulita pada waktu maghrib. Semakin kami naik, jalan semakin sempit. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Kanan kiri kami hanyalah semak belukar lebat. Sementara hari makin gelap. Yang diingat oleh Pak Tarigan hanyalah bahwa di puncak gunung itu tinggal keluarga juru kunci yang telah dikenalnya. Namun jalan itu tampak tak berujung. Sampai suatu titik, kami dicekam ketakutan. Merinding sekujur tubuh. Kami mencoba memutar arah untuk kembali ke bawah, namun tak ada tempat untuk memutar. Seolah-olah kami tak boleh kembali. Akhirnya kami memaksa untuk memutar kembali. Mobil dipacu kencang-kencang ke bawah, kembali ke awal. Namun jalan pulang terasa sangat jauh. Saya sudah pasrah jika kami tidak akan menemukan gapura tempat awal kami datang. Pasrah jika jalan pulang ini akan dibelokkan entah kemana.

Kemudian kami telah berada di warung gule kambing dekat Cilacap. Tiba-tiba kami ingat sesuatu. Malam ini adalah malam Jum’at. Walaupun bukan Jum’at kliwon, kami bersyukur bahwa kami baru menyadarinya di warung gule ini. Bukan ketika masih terjebak di gunung Srandil…

Hari Keempat
Seperti pulang ke rumah.
Pagi itu kami berangkat dengan segar, setelah cukup istirahat pada malam harinya di hotel yang cukup layak. Target hari ini adalah tiga buah site. Nampak mudah, namun tidak. Pertama, ketiga lokasi tersebut tidak terdapat di peta Jawa Tengah yang kami punya. Kedua, seperti biasa, tidak terdapat rute jalan juga dari software GPS tracker kami. Terakhir, letaknya saling berjauhan dan terletak di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.

Site pertama, Demangsari, ditemukan setelah menyusuri rel kereta api cukup jauh. Berikutnya, kami berhasil mencapai Patimuan yang letaknya lebih ke barat. Satu hal yang unik adalah bahwa di tempat ini rata-rata penduduknya punya kemampuan bilingual, bahasa Jawa dan Sunda. Patimuan sendiri secara politik masih tetap bagian dari Jawa Tengah.

Akhirnya, perbatasan Jawa Barat kami tembus juga untuk menemukan site Mergosari. Kami harus melewati daerah Banjar. Sepanjang jalan dari arah Pangandaran ke Majenang, kami dimanjakan oleh hamparan sawah luas dan aspal yang mulus. Makan siang kami nikmati di sebuah warung yang berada di pinggir sawah. Makan lesehan dengan pemandangan hijau sejauh mata memandang. Kami menunaikan shalat Jum’at setelah didahului oleh khotbah dalam bahasa Sunda yang tidak saya pahami. Ah, seperti pulang ke rumah saja..

Kami kembali memasuki Jawa Tengah dari Majenang. Perbatasan itu berupa jembatan yang membelah sungai besar yang belum saya ketahui namanya. Di ujung barat jembatan itu, berdiri kokoh sebuah monumen berupa seorang prajurit bersama harimaunya yang siap menerkam. Ujung timur jembatan menyambutnya dengan menampilkan patung seorang yang memakai surban dengan kuda putihnya. Rupanya, perbatasan ini juga merupakan batas wilayah antara Kodam Siliwangi dengan Kodam Diponegoro.

Malam itu, di hotel Dynasty Purwokerto, saya beristirahat dengan pulas setelah menjamu bibi saya dan keluarganya.

Hari Kelima
Kunjungan.
Perjalanan mencari site menjadi prioritas kedua karena saya tidak mau melewatkan kesempatan untuk berkunjung ke rumah saudara dan teman. Di Purwokerto kami singgah ke rumah bibi saya. Mereka berwiraswasta dengan mengelola Baitul Mal dan toko kelontong. Senangnya bisa bekerja tanpa harus ngikut orang, tanpa harus diawasi, dan tanpa harus menyerahkan laporan.

Selanjutnya saya mengunjungi seorang teman kerja di Purbalingga. Di hari libur itu, seharusnya memang kita habiskan waktu untuk keluarga dan orang-orang yang kita sayangi. Teman saya sedang memancing ketika saya datang. Dia tinggal di daerah yang tenang rupanya. Hmm, sebenarnya saya tidak menganggap perjalanan ini sebagai bagian pekerjaan karena saya menyukainya. Hari-hari itu memang seperti setengah libur. Jauh lebih baik berkeliling Jawa daripada di kantor dibebani oleh orang-orang perfeksionis.

Setelah tiga site ditemukan, saya memutuskan untuk pulang ke Magelang mengingat site di Temanggung belum sempat di-survey. Lebih baik beristirahat di rumah sendiri bukan? Sepanjang perjalanan dari Wonosobo ke Temanggung, hujan sangat deras membayangi kami. Akhirnya kembali lagi ke rumah. Tak ada tempat senyaman ini.

Hari Keenam
Sekadar pulang ke Semarang.
Berangkat agak siang dari Magelang, saya mencapai Semarang dengan mudah setelah menemukan tiga buah site. Dua site memang tugas saya, sedang satu site lagi titipan teman. Ada keperluan katanya, jadi ngga bisa survey. Malam itu saya berada di kos teman. Tempat yang nyaman untuk menghilangkan penat dan menyalurkan ide-ide.

Hari Ketujuh
Bledug Kuwu.
Perjalanan terakhir ini untuk mencari site Sambong, yang terletak antara Blora dengan Cepu. Cukup mudah ditemukan karena terletak di jalan besar penghubung dua kota tersebut. Pada perjalanan pulang, kami sengaja memilih rute yang melewati objek wisata Bledug Kuwu.

Untuk itu, kami melewati hutan jati sepanjang 30 km. Tak terbayangkan betapa gelap dan sepinya jika harus melewati hutan itu pada malam hari. Kemudian sampai pada daerah Randublatung (secara harfiah berarti pohon kapas yang banyak belatungnya), dan dilanjutkan ke Bledug Kuwu.

Objek wisata ini merupakan sebuah tempat luas di mana terdapat puluhan titik yang menyemburkan lumpur secara periodik. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, ternyata lumpur dan airnya dingin. Yang membuat saya heran, air di situ asin dan banyak terdapat pecahan rumah binatang laut.

Saya sengaja menyewa guide. Bukan apa-apa, tanah di sana sangat labil. Jika kita berjalan tanpa petunjuk, besar kemungkinan kita akan terperosok ke dalam lumpur. Saya telah melihat beberapa pengunjung yang cukup sial. Sebagai catatan, ongkos masuk objek wisata tersebut hanya 500 rupiah. Sewa guide 10.000 rupiah, dan sewa payung 1000 rupiah untuk melindungi diri dari sinar matahari yang sangat menyengat.

Saya mengikuti sang Guide. Di jalan yang kami lewati, saya merasakan bagaimana tanah tersebut sangat labil. Pijakan saya terasa bergoyang-goyang karena terdapat lumpur yang mengalir di bawahnya. Menurut penjelasan Guide, ada beberapa pendapat yang berbeda tentang penjelasan ilmiah tempat tersebut. Beberapa ahli dari Belanda, Jepang, dan Swiss pernah menelitinya. Ada yang berpendapat itu karena gerakan vulkanik. Namun ada pula yang berpendapat bahwa lumpur itu memang terhubung dengan laut. Pendapat lain mengatakan bahwa daerah itu adalah dasar laut yang terangkat pada masa lalu.

Kemudian, banyak terdapat buku yang dijual tentang legenda tempat itu. Sejarah mengaitkannya dengan tokoh bernama Joko Linglung, yang masih punya hubungan dengan Ajisaka (pencipta aksara Jawa). Saya sangat tertarik dengan penjelasan secara mitos seperti ini, selain penjelasan ilmiah. Bagi saya, mitos adalah ’local wisdom’. Saya sendiri belum sempat membaca buku yang saya beli tersebut.

Akhirnya..
Akhirnya perjalanan ini selesai. Saya telah menemukan 24 site yang tersebar dari perbatasan Jawa Barat sampai Jawa Timur. Beberapa sangat mudah ditemukan (banyak di pinggir jalan), namun ada pula yang butuh pengorbanan (seperti puncak bukit di Karangsambung). Mobil saya telah melahap jarak lebih dari 1700km. Kami telah melewati tempat terendah (mendekati 0 mdpl di dekat pantai) hingga ke tempat tertinggi (1409 mdpl, Ngablak). Hal yang menyenangkan.

Sekarang kita masuk ke bagian tidak enaknya: bikin laporan..