Wednesday, April 13, 2005

Ikiru!

Entah kebetulan atau bukan, beberapa waktu lalu dalam kurun seminggu saya menjumpai dua buah karya dengan tema yang mirip. Karya pertama adalah sebuah novel dari Paulo Coelho, berjudul Veronika Memutuskan Mati. Yang kedua adalah sebuah film yang ditulis dan disutradarai oleh Akira Kurosawa, yaitu Ikiru (to Live).

Sepintas, keduanya memiliki judul yang secara harfiah saling bertolak belakang. Yaitu Mati dengan Hidup. Tetapi sebenarnya, dalam pandangan saya, kedua karya ini bercerita tentang hal yang sama: penemuan makna hidup pada saat-saat terakhir menjelang kematian.

Saya sendiri belum lama mengenal Akira Kurosawa. Seorang teman dekat bahkan pernah menyindir, "Kamu ini pernah bikin film pendek, tapi kok ga kenal Akira Kurosawa sih?". Sejujurnya, saya berpendapat bahwa orang tidak harus mengenal Akira Kurosawa hanya untuk membuat film pendek. Lagian, saya memang bukan orang film:p

Ikiru menceritakan kehidupan seorang birokrat tua di sebuah Citizen Unit (semacam kantor PU) yang seumur hidupnya merasa tidak pernah berbuat apa-apa. Pekerjaan sehari-harinya hanyalah duduk di depan tumpukan kertas dan menempelkan cap satu persatu. Para bawahan memiliki sebutan rahasia untuknya, Mumi. Sampai akhirnya, Watanabe (nama birokrat itu) divonis mengidap kanker perut, dengan sisa umur tak lebih dari setengah tahun. Dari sinilah keresahan akan kehidupan monoton tak berarti selama bertahun-tahun mengusiknya.

Walaupun film itu dibuat tahun 1952, saya tidak yakin apakah setting dalam film tersebut juga menceritakan tahun yang sama. Satu-satunya petunjuk adalah sebuah dokumen tentang sebuah proyek pada tahun 1930. Kalau benar bahwa film itu menceritakan kehidupan tahun 30-an di Jepang, saya jadi kasihan dengan Indonesia. Sesuai dengan adegan di film itu, sudah terdapat telepon, komedi putar, mainan anak-anak mekanik, bahkan sampai strip tease. Saya tidak tahu persis apa yang sudah kita punyai di tahun itu. Atau mungkin semuanya juga sudah ada, tapi masih dipegang Belanda?

Kalau melihat muka pemeran Watanabe, saya jadi teringat Rowan Atkinson (pemeran Mr. Bean). Bukan, tentu saja bukan karena kemiripan wajah. Melainkan dari penguatan peran. Tanpa mengikuti cerita Mr. Bean pun, saya sudah tersenyum geli melihat wajah Rowan. Apalagi setelah terbahak-bahak menonton aksi konyolnya. Demikian juga dengan Watanabe. Wajah tua sangat mengibakan yang terlihat di awal film itu membuat saya langsung mendapatkan gambaran instan tentang siapakah orang ini. Wajah yang terbelenggu dalam rutinitas tak berarti, dalam kekosongan makna hidup, dalam kesakitan akan penyakit, juga dalam penolakan yang sangat pedih oleh anak sendiri.

Seorang novelis yang mengetahui kegusaran Watanabe ini mengajaknya untuk melewatkan sisa hidup dengan melakukan hal-hal menyenangkan. Hal-hal yang belum pernah dilakukan. Atau terpikirkan. Masuk ke bar untuk pertama kali, dilayani oleh wanita penghibur, bermain pacinko, sampai menikmati tarian telanjang, dan semua bentuk kehidupan malam. Namun, semua ini disadari oleh Watanabe sebagai kesenangan sesaat. Bahkan akhirnya bukan kesenangan sama sekali. Apalagi bermakna.

Saya sendiri teringat sebuah perbincangan dengan seorang teman. Saya mengandaikan kalau kiamat dipastikan seminggu lagi, pasti masjid dan gereja akan dipenuhi orang. Namun teman saya justru lebih memilih untuk mendatangi tempat pelacuran di Bandung, karena hal itu belum pernah dilakukannya. Hampir mirip dengan cerita film itu. Namun saya tidak tahu apakah sama akhirnya.

Akhirnya, lewat inspirasi dari seorang wanita bawahannya, Watanabe menemukan cara untuk menemukan makna hidupnya. Hal itu adalah pengabdian kepada masyarakat kecil. Masyarakat yang selalu dipusingkan oleh alur birokrasi yang berbelit-belit.

Sikap Watanabe yang berubah secara drastis, dari Mumi menjadi Manusia Hidup ini, seringkali mengusik kehidupan birokrasi yang sudah lama lamban dan acuh. Benar-benar seperti seseorang yang mencari-cari bantuan pada mayat-mayat. Satu adegan yang membuat saya geli yaitu ketika ada gangster suruhan yang mencoba menteror Watanabe. Sambil mencengkeram baju, anggota gangster itu mengancam Watanabe, "Menjauhlah kalau masih ingin hidup". Sebuah ancaman yang dibalas tanpa kata-kata dengan sorot wajah bersinar dan senyum cerah dari Watanabe. Saya pikir, kalau seseorang sudah mengetahui akhir hidupnya, apalah artinya ancaman tentang kematian. Satu-satunya yang ditakuti mungkin tentang kesempurnaan pencapaian hidup di akhir usia.

Film ini, selain menceritakan sebuah pencarian, nampaknya juga sebuah kritik terhadap birokrasi. Anda mungkin akan merasa sangat kesal ketika menyaksikan bagaimana birokrasi di Jepang saat itu sangat lamban, monoton, penuh intrik, kotor, dan penuh dengan penjilat. Tapi itu kan dulu. Di Jepang lagi. Kalau di Indonesia sekarang, pasti beda kan?:p

Eh, belum sempat cerita Veronika. Bersambung..:)

Esensi

Pada awalnya adalah Saya...