Thursday, July 27, 2006

The Lake House: How do you hold on to someone you've never met?

Agaknya, bukan cuma saya yang setuju sekali kalau ending kiss dalam film ini memang harus full passionate.

Sepasang kekasih itu telah terlalu lama dilanda frustasi penantian, dalam alur yang lambat dan halus. Saya memahami kerinduan. Dan saya memahami kerinduan yang tersimpan selama 4 tahun. Dan sang aktor mengerti bagaimana mengekspresikan kerinduan itu tanpa kata-kata. Dalam hidup ini, ada sesuatu yang tak tertahankan.

Saya bukan kritikus film Hollywood. Saya adalah penikmat drama romantisnya. Dan film ini adalah satu dari beberapa drama yang saya sebut indah. Untuk beberapa genre film Hollywood, saya kadang bisa -dan sengaja- mencari kelemahannya. Namun untuk film-film romantisnya, terus terang, mereka dengan mudah membawa saya terharu dan terbawa dalam fantasi.

The Lake House berkisah tentang sepasang kekasih yang berkenalan dan menjalin hubungan dalam dimensi waktu yang berbeda, dengan penghubung sebuah kotak pos. Film ini konon merupakan remake dari film Korea 'Siworae'. Karena adanya unsur dimensi waktu, film ini menjadi agak-agak sci-fi, dan karenanya sangat membantu dalam membangun suspense.

Mungkin film ini akan mengingatkan Anda pada film thriller Frequency yang dibintangi oleh Dennis Quaid. Terdapat sebuah 'Revision Theory', di mana informasi dari masa depan yang bocor ke masa lalu akan mengubah kejadian di masa lalu dan masa depan itu sendiri. Perubahan itu bisa linier, namun bisa pula teramplifikasi dan tak terkendali.

Untuk sebuah kisah cinta, kombinasi semacam ini tentulah menggugah. Bagaimana Alex (Keanu Reeves) berjuang untuk bisa bertemu Kate (Sandra Bullock) sedang Alex hidup di tahun 2004 dan Kate di tahun 2006. Hal ini tak ubahnya semacam distant relationship. Kisah ini mengajarkan betapa pedih dan mulianya menunggu.

Nampaknya, pemeran drama romantis memang harus good-looking. Dengan demikian, emosi penonton akan terbangun untuk berusaha mempersatukan mereka. Ikut dalam harap-harap cemas. Saya sendiri males nonton film cinta kalu pemerannya jelek dan tua.

Tuesday, July 11, 2006

Is there such thing called Planning?

Bahkan uang yang sudah ditabung 15 tahun bisa hilang dalam 3 hari untuk berobat...

Friday, July 07, 2006

Buang Hajat

Malam itu saya agak kecewa. Hotel Ciputra yang saya pilih ternyata tidak menyediakan secuil pun free internet di kamar. Padahal hotel tetangganya, yang relatif lebih murah, memberikan paket gratis internet 24 jam. Namun yang lebih mengecewakan lagi, WC di kamar ternyata juga tidak dilengkapi pembilas air (baik shower maupun jet-washer).

Masalah buang hajat seharusnya tidak dianggap remeh oleh para pengelola fasilitas umum. Dari pemahaman saya sendiri, bangsa kita sudah terbiasa untuk menggunakan air sebagai pembilas setelah buang hajat (cebok). Bahkan, saya rasa ini memang kebiasaan bangsa Timur. Di bandara Changi Singapura pun, kebiasaan orang Melayu masih diakomodir dengan menyediakan squat WC (WC jongkok) berpembilas air, di samping WC kering. Bahkan saya pun heran ketika sedang berada di toilet di area Taj Mahal, Agra. Terdapat dua jenis toilet, Indian toilet dan non-Indian toilet. Ternyata Indian toilet itu sama seperti WC jongkok di Indonesia. Dengan pembilas air, tanpa tissue.

Nilai-nilai yang sudah hidup lama ini seharusnya dihargai. Bukan cuma karena mengikuti bangsa Barat saja (yang menurut saya jorok luar biasa), sehingga semua toilet diganti menjadi toilet duduk tanpa air. Walau mungkin kurang praktis, menurut saya berbilas dengan air jauh lebih bersih dan aman daripada hanya menggunakan tissue. Apalagi tissue kering.

Kalo cuma pake tissue kok kayaknya masih ada yang nempel ya…:p