Friday, January 27, 2006

Call me Callo

Hari Jum'at yang tenang. Kantor menjadi sepi setelah jum'atan. Sore ini saya berencana pulang ke Bandung (jangan hujan deh,plis). Inget ke Bandung, jadi inget bus. Selanjutnya pikiran melayang ke Terminal Kampung Rambutan.

Ada hal menarik setiap kali saya meninggalkan Jakarta lewat terminal ini. Selama sebulan sebelumnya, hampir tiap minggu saya singgah di terminal ini sehabis wawancara dari Nokia.

Minggu Pertama.
Begitu saya masuk pintu peron, sejumlah calo langsung menyerbu saya. Saya bingung karena belum menentukan pilihan bus. Setahu saya, paling tidak ada 3 kelas bus ke Bandung yaitu ekonomi, AC ekonomi, dan AC eksekutif. Para calo itu berteriak-teriak dan saling menarik badan saya. Arah kerumunan ini jadi tidak jelas. Ya iya lah, mau ke kota mana saja saya belum bilang, calonya sudah maksa-maksa. Setelah saya bilang "Bandung", kerumunan mulai terarah. Calo-calo itu saling menawarkan harga, dan akhirnya pilihan jatuh ke AC ekonomi. Kerumunan bubar.

Minggu Kedua.
Begitu melewati pintu peron, dan melihat calo-calo berdatangan, saya langsung berkata lantang, "Bandung, AC Ekonomi!". Selanjutnya tiba-tiba salah satu calo berteriak ke para calo lainnya, "Tuh kan, kalian dengar katanya". Dan calo-calo itu langsung bubar sebelum sempat menyerbu saya. Seorang calo muncul dan mengantar saya ke bus tujuan. Saya berkesimpulan bahwa mungkin ada kesepakatan antarcalo jika ada penumpang yang sudah menyebutkan pilihan bus secara spesifik, maka hal itu harus dihargai. Dan, sepertinya, mereka menepatinya.

Minggu Ketiga.
Hari ini saya ingin bermain-main. Berpura-pura menjadi seorang aktor terkenal, dan merasa terkenal. Para calo yang menunggu di balik pintu peron saya anggap sebagai fans berat. Dan benarlah, begitu melewati peron, tampaklah para fans berebut mendatangi saya. Sejenak, saya larut dalam simulasi itu. Sengaja saya diam, tidak menentukan pilihan bus. Dan para fans itu berjuang memperebutkan saya. Ya, memperebutkan. Itulah kenyataannya. They want me! Ha ha, saya menikmati detik-detik merasa diinginkan dan diperebutkan. Cukup lama. Sampai akhirnya kerumunan mulai rusuh, dan saya merasa ditarik-tarik dengan keras dan kasar. Saya berteriak menyebutkan bus. Game over.

Ha ha. Inilah the real reality show buat psikopat yang pingin merasa jadi bintang. Selanjutnya saya sungguh merasa kasihan ketika sepasang kakek-nenek sangat kebingungan ketika dikerumuni oleh para calo. Si kakek bingung sampai terduduk di trotoar. Dalam keadaan duduk linglung itu pun, beberapa calo masih menginterogasinya. Kek, anggap aja mereka wartawan infotainment ya..

a poor beginner

Akhirnya bersambung setelah satu tahun, ha..ha.. Begitu kreatifnya otak saya, yang telah menciptakan ribuan alasan bagi saya untuk tidak mengisi blog kembali.
Sekarang saya berada di lingkungan baru. Lingkungan profesi. Bagaimanapun, saya masih seorang alien di sini. Dan sebuah film menceritakan tentang seseorang yang tersesat dan bertahan hidup selama bertahun-tahun di hutan. Dia tetap menulis jurnal hariannya. Bukan apa-apa, hal itu dilakukan agar dia tetap dalam keadaan sadar, dan tidak menjadi gila. Nokia adalah hutan baru yang masih asing, dan kita harus tetap terjaga. Hmm, sebenarnya saya cuma melebih-lebihkan saja. Ha..ha..

Lingkungan baru, rute baru, jadwal tidur baru. Tapi hidup takkan berhenti dan menoleh. Tak ada alasan untuk berkata, "Tunggu dong, aku belum siap..". Setiap perubahan besar dan revolusi dalam diri, lingkungan sosial, atau negara selalu terjadi dalam waktu singkat. Dalam selang itu, kita akan selalu dituntut untuk berubah dan menyesuaikan diri. Konon, Paulo Coelho menulis trilogi On the 7th Day-nya karena hal semacam ini. Tujuh hari cukup untuk mengubah dunia.