Sunday, December 10, 2006
Farewell
Easy come, easy go. That's how life should be. If you were ready with encounter, then be prepared also for farewell. I'm here right now, looking to the empty room in front of me. It was occupied last night, for the last four months. The occupant has left the room at this early morning, when everybody was sleeping. Well, bye dude. Have a better life outside..
Thursday, August 03, 2006
Parpol Sampah
Sewaktu hendak membuang bungkus gudeg di kantor, saya jadi ingat ketika Bandung tengah dibanjiri sampah. Waktu itu, di ruas jalan lingkar selatan sempat terdapat onggokan sampah raksasa dengan bau menusuk. Kebetulan, hampir seluruh permukaan tumpukan sampah itu dibungkus kain terpal biru superlebar bertuliskan 'PAN peduli sampah'.
Saya lalu berpikir usil:
Dasar partai politik emang ga peka sama penderitaan rakyat. Udah tau sampah menggunung, masih saja buang terpal sembarangan.
Saya lalu berpikir usil:
Dasar partai politik emang ga peka sama penderitaan rakyat. Udah tau sampah menggunung, masih saja buang terpal sembarangan.
Conspiracy Theory
Bagi yang terbiasa dengan database dan MS Excel, mungkin Anda tahu bahwa terdapat jenis file 'TAB delimited'. Karena merupakan file .txt biasa, maka file ini bisa dibuka oleh berbagai aplikasi. Isi file ini tadinya berupa tabel dengan baris dan kolom. Karakter TAB dipakai untuk memisahkan kolom satu dengan yang lainnya. Ketika dibuka di Excel, otomatis karakter TAB tadi akan berubah menjadi batas pemisah antarkolom.
Ternyata, ada pula jenis file 'comma separated'. Sama dengan kasus di atas, namun pemisah kolomnya adalah koma.
Siang itu, seorang teman bertanya,
"Kenapa ya pemisahnya koma? Bukan plus, titik, atau tanda pentung..?"
Saya yang saat itu sedang mengetik, spontan menjawab,
"Kali ada agenda Zionis di dalamnya."
Ternyata, ada pula jenis file 'comma separated'. Sama dengan kasus di atas, namun pemisah kolomnya adalah koma.
Siang itu, seorang teman bertanya,
"Kenapa ya pemisahnya koma? Bukan plus, titik, atau tanda pentung..?"
Saya yang saat itu sedang mengetik, spontan menjawab,
"Kali ada agenda Zionis di dalamnya."
Thursday, July 27, 2006
The Lake House: How do you hold on to someone you've never met?
Agaknya, bukan cuma saya yang setuju sekali kalau ending kiss dalam film ini memang harus full passionate.
Sepasang kekasih itu telah terlalu lama dilanda frustasi penantian, dalam alur yang lambat dan halus. Saya memahami kerinduan. Dan saya memahami kerinduan yang tersimpan selama 4 tahun. Dan sang aktor mengerti bagaimana mengekspresikan kerinduan itu tanpa kata-kata. Dalam hidup ini, ada sesuatu yang tak tertahankan.
Saya bukan kritikus film Hollywood. Saya adalah penikmat drama romantisnya. Dan film ini adalah satu dari beberapa drama yang saya sebut indah. Untuk beberapa genre film Hollywood, saya kadang bisa -dan sengaja- mencari kelemahannya. Namun untuk film-film romantisnya, terus terang, mereka dengan mudah membawa saya terharu dan terbawa dalam fantasi.
The Lake House berkisah tentang sepasang kekasih yang berkenalan dan menjalin hubungan dalam dimensi waktu yang berbeda, dengan penghubung sebuah kotak pos. Film ini konon merupakan remake dari film Korea 'Siworae'. Karena adanya unsur dimensi waktu, film ini menjadi agak-agak sci-fi, dan karenanya sangat membantu dalam membangun suspense.
Mungkin film ini akan mengingatkan Anda pada film thriller Frequency yang dibintangi oleh Dennis Quaid. Terdapat sebuah 'Revision Theory', di mana informasi dari masa depan yang bocor ke masa lalu akan mengubah kejadian di masa lalu dan masa depan itu sendiri. Perubahan itu bisa linier, namun bisa pula teramplifikasi dan tak terkendali.
Untuk sebuah kisah cinta, kombinasi semacam ini tentulah menggugah. Bagaimana Alex (Keanu Reeves) berjuang untuk bisa bertemu Kate (Sandra Bullock) sedang Alex hidup di tahun 2004 dan Kate di tahun 2006. Hal ini tak ubahnya semacam distant relationship. Kisah ini mengajarkan betapa pedih dan mulianya menunggu.
Nampaknya, pemeran drama romantis memang harus good-looking. Dengan demikian, emosi penonton akan terbangun untuk berusaha mempersatukan mereka. Ikut dalam harap-harap cemas. Saya sendiri males nonton film cinta kalu pemerannya jelek dan tua.
Sepasang kekasih itu telah terlalu lama dilanda frustasi penantian, dalam alur yang lambat dan halus. Saya memahami kerinduan. Dan saya memahami kerinduan yang tersimpan selama 4 tahun. Dan sang aktor mengerti bagaimana mengekspresikan kerinduan itu tanpa kata-kata. Dalam hidup ini, ada sesuatu yang tak tertahankan.
Saya bukan kritikus film Hollywood. Saya adalah penikmat drama romantisnya. Dan film ini adalah satu dari beberapa drama yang saya sebut indah. Untuk beberapa genre film Hollywood, saya kadang bisa -dan sengaja- mencari kelemahannya. Namun untuk film-film romantisnya, terus terang, mereka dengan mudah membawa saya terharu dan terbawa dalam fantasi.
The Lake House berkisah tentang sepasang kekasih yang berkenalan dan menjalin hubungan dalam dimensi waktu yang berbeda, dengan penghubung sebuah kotak pos. Film ini konon merupakan remake dari film Korea 'Siworae'. Karena adanya unsur dimensi waktu, film ini menjadi agak-agak sci-fi, dan karenanya sangat membantu dalam membangun suspense.
Mungkin film ini akan mengingatkan Anda pada film thriller Frequency yang dibintangi oleh Dennis Quaid. Terdapat sebuah 'Revision Theory', di mana informasi dari masa depan yang bocor ke masa lalu akan mengubah kejadian di masa lalu dan masa depan itu sendiri. Perubahan itu bisa linier, namun bisa pula teramplifikasi dan tak terkendali.
Untuk sebuah kisah cinta, kombinasi semacam ini tentulah menggugah. Bagaimana Alex (Keanu Reeves) berjuang untuk bisa bertemu Kate (Sandra Bullock) sedang Alex hidup di tahun 2004 dan Kate di tahun 2006. Hal ini tak ubahnya semacam distant relationship. Kisah ini mengajarkan betapa pedih dan mulianya menunggu.
Nampaknya, pemeran drama romantis memang harus good-looking. Dengan demikian, emosi penonton akan terbangun untuk berusaha mempersatukan mereka. Ikut dalam harap-harap cemas. Saya sendiri males nonton film cinta kalu pemerannya jelek dan tua.
Tuesday, July 11, 2006
Is there such thing called Planning?
Bahkan uang yang sudah ditabung 15 tahun bisa hilang dalam 3 hari untuk berobat...
Friday, July 07, 2006
Buang Hajat
Malam itu saya agak kecewa. Hotel Ciputra yang saya pilih ternyata tidak menyediakan secuil pun free internet di kamar. Padahal hotel tetangganya, yang relatif lebih murah, memberikan paket gratis internet 24 jam. Namun yang lebih mengecewakan lagi, WC di kamar ternyata juga tidak dilengkapi pembilas air (baik shower maupun jet-washer).
Masalah buang hajat seharusnya tidak dianggap remeh oleh para pengelola fasilitas umum. Dari pemahaman saya sendiri, bangsa kita sudah terbiasa untuk menggunakan air sebagai pembilas setelah buang hajat (cebok). Bahkan, saya rasa ini memang kebiasaan bangsa Timur. Di bandara Changi Singapura pun, kebiasaan orang Melayu masih diakomodir dengan menyediakan squat WC (WC jongkok) berpembilas air, di samping WC kering. Bahkan saya pun heran ketika sedang berada di toilet di area Taj Mahal, Agra. Terdapat dua jenis toilet, Indian toilet dan non-Indian toilet. Ternyata Indian toilet itu sama seperti WC jongkok di Indonesia. Dengan pembilas air, tanpa tissue.
Nilai-nilai yang sudah hidup lama ini seharusnya dihargai. Bukan cuma karena mengikuti bangsa Barat saja (yang menurut saya jorok luar biasa), sehingga semua toilet diganti menjadi toilet duduk tanpa air. Walau mungkin kurang praktis, menurut saya berbilas dengan air jauh lebih bersih dan aman daripada hanya menggunakan tissue. Apalagi tissue kering.
Kalo cuma pake tissue kok kayaknya masih ada yang nempel ya…:p
Masalah buang hajat seharusnya tidak dianggap remeh oleh para pengelola fasilitas umum. Dari pemahaman saya sendiri, bangsa kita sudah terbiasa untuk menggunakan air sebagai pembilas setelah buang hajat (cebok). Bahkan, saya rasa ini memang kebiasaan bangsa Timur. Di bandara Changi Singapura pun, kebiasaan orang Melayu masih diakomodir dengan menyediakan squat WC (WC jongkok) berpembilas air, di samping WC kering. Bahkan saya pun heran ketika sedang berada di toilet di area Taj Mahal, Agra. Terdapat dua jenis toilet, Indian toilet dan non-Indian toilet. Ternyata Indian toilet itu sama seperti WC jongkok di Indonesia. Dengan pembilas air, tanpa tissue.
Nilai-nilai yang sudah hidup lama ini seharusnya dihargai. Bukan cuma karena mengikuti bangsa Barat saja (yang menurut saya jorok luar biasa), sehingga semua toilet diganti menjadi toilet duduk tanpa air. Walau mungkin kurang praktis, menurut saya berbilas dengan air jauh lebih bersih dan aman daripada hanya menggunakan tissue. Apalagi tissue kering.
Kalo cuma pake tissue kok kayaknya masih ada yang nempel ya…:p
Thursday, June 22, 2006
Tentang Seseorang
Tak pernah terpikir sebelumnya bukan? Bahwa seseorang akan menjadi pertimbangan utama tentang apa yang akan kamu rencanakan hari ini. Bahwa kamu akan menolak kesempatan mendapatkan penghasilan lebih, karena seseorang. Bahwa kamu masuk kantor senin pagi hanya untuk berharap segera jum'at sore. Bahwa kamu menginginkan seseorang, lebih dari apapun yang bisa ditawarkan oleh dunia ini..
Thursday, May 11, 2006
The Java Chronicles
Apa yang akan saya ceritakan adalah serangkaian hikayat yang terjadi selama perantauan saya di daerah-daerah eksotis jawa tengah. Tentu saja, ini adalah bagian dari pekerjaan saya. Diberi kesempatan untuk bermain-main, menyenangkan bukan?
Hari Pertama
Inverter Interference.
Waktu saya habis terpangkas setengah hari karena harus mencari jack inverter yang bisa ditancapkan ke cigarette lighter. Sebenarnya bukan masalah jacknya, tapi gara-gara kami nyasar di tempat yang salah. Karena keterbatasan kepandaian orang-orang di bengkel itu. Sekering mobil kami malah putus. Si montir gadungan lebih memeras waktu kami dengan membongkar dashboard mobil. Padahal cukup mengganti sekring, masalah sudah beres.
Saya merasa sangat terbantu dan menjadi percaya diri bahwa pekerjaan ini akan mudah karena panduan GPS receiver dan laptop yang terus dapat menyala 24 jam di mobil. Sekaligus, saya menjadi sangat tergantung dengan teknologi.
Tiga site pertama ditemukan dengan mudah dan menyenangkan karena kami bias melihat posisi kendaraan dan lokasi tujuan di peta pada layar laptop yang lebar. Rute perjalanan mencari site Windusari seolah menjadi napak tilas perjalanan saya ketika mengikuti acara kenaikan tingkat di perguruan silat Merpati Putih beberapa tahun silam. Selanjutnya, kami menghabiskan malam dengan menginap di rumah saya di Magelang.
Sepanjang perjalanan dari Ambarawa dan Magelang, saya menemukan beberapa lokasi menarik atas petunjuk Pak Tarigan (driver saya). Pertama adalah sebuah kafe dengan pemandangan menyongsong jalan. Kemudian, terlihat jejak rel kereta api menyusuri sawah dan bukit-bukit. Itu adalah jalur kereta wisata dari museum kereta api Ambarawa. Ternyata rutenya cukup jauh melewati beberapa kota dan pasti akan sangat layak sekali untuk dicoba. Terutama bersama orang-orang yang kita kasihi. Selanjutnya, saya menemukan pintu masuk ke Losari Coffee Plantation, sebuah tempat eksotis untuk menghabiskan bulan madu di tengah perkebunan kopi. Losari juga menyediakan paket kereta wisata tadi, jika saya tidak salah ingat.
Hari Kedua
Rural and Rural.
Tujuan hari ini menghabiskan site di wilayah Magelang dan Kulonprogo. Hanya site di Ngablak, Magelang, yang menyenangkan buat saya karena terletak dekat dengan objek wisata alam Kopeng. Udara sesejuk itu akan sangat susah saya dapatkan di Jakarta, walau memakai air conditioner terbaik.
Selanjutnya, site Kaliangkrik dan Margoyoso kami temukan dengan cukup mudah walau site kedua agak naik ke bukit. Di sini saya mula menyadari bahwa Telkomsel memang kaya karena hampir tiap lokasi yang akan kami tuju selalu terdapat tower milik mereka. Satu untuk tiap kecamatan, minimal.
Perjalanan ke Samigaluh terasa membosankan dengan kondisi jalan yang rusak. Selanjutnya kami keluar ke Wates. Kemudian, waktu kami terkuras oleh rute jalan yang jauh untuk mencapai Kebumen.
Hari Ketiga
Dikerjain Indosat.
Setelah menemukan site Ambal dan Mirit dengan mudahnya, saya berharap lokasi selanjutnya pun akan demikian. Namun harapan tak seindah kenyataan. Perjalanan ke site Karangsambung melewati jalan desa yang sudah hancur. Truk-truk ukuran sedang lalu lalang mengangkut karang dan kapur. Saya yakin, kendaraan-kendaraan itulah yang selama ini merusak jalan.
Saat itu sudah tengah hari. Saya berdiri di tengah sawah, mencari letak site Karangsambung. Saya mulai ragu dan merasa bahwa ada kesalahan koordinat. Semua site sebelumnya terletak di pinggir jalan. Namun di tengah sawah yang panas seperti ini, GPS receiver menunjukkan bahwa letak site tinggal beberapa puluh meter di depan. Namun di depan sama sekali tidak terlihat ada tempat yang layak. Di sana hanyalah terlihat sawah dan bukit. Bukit, ya.. bukit yang sangat tinggi. Saya mendongak. Dan terlihatlah sebuah tower di puncak bukit.
Sangat ngeri mengingat bagaimana mobil saya mendaki bukit itu. Saya tidak yakin bahwa di atasnya terdapat peradaban. Masih untung bukan musim hujan. Dengan kemiringan tanjakan yang sebagian besar melebihi 45 derajat, tanah becek yang licin akan melempar mobil ke jurang yang dalam. Akhirnya kami mencapai puncak bukit itu. Lokasi ditemukan.
Pengalaman Mistis.
Anda pernah melihat lambang Semar dengan angka 1610 di bawahnya? Selepas dari site Demangsari dan Binangun, kami menemukan jalan alternatif menuju Cilacap. Jalan itu begitu lurus dan panjang. Kami berangkat menuju barat saat sore. Menyongsong matahari terbenam.
Di sebuah perempatan sekitar kroya, kami mengunjungi tempat berkumpul sekte Semar 1610. Tempat ini berupa sebuah asrama besar dengan auditorium di depannya. Kalau tidak salah, namanya adalah Komunitas Penghayat Kepercayaan Cahya Buana. Ini adalah komunitas sinkretis yang memadukan kepercayaan Kejawen dengan sistem lainnya, termasuk kepercayaan Tionghoa. Di situ pun ada tempat untuk sholat.
Di sana terdapat ilustrasi wilayah kekuasaan Ratu Kidul, yang meliputi Laut Selatan dan beberapa gunung di pulau Jawa. Salah satunya adalah gunung Srandil, yang terdapat di dekat asrama itu. Terdapat juga hirarki kekuasaan kosmologi. Semar berada di posisi ketiga. Posisi keempat diduduki oleh Ratu Kidul. Posisi pertama saya agak lupa. Namanya kalau tidak salah Bapa Ibu Dunia atau semacamnya. Mungkin ini semacam Tuhan tertinggi bagi penganut kepercayaan ini.
Dari tempat itu, saya mengalami ketakutan luar biasa ketika kami mencoba mendaki gunung Srandil. Tak tahu siapa yang memulai ide gila ini. Mendaki gunung di ujung Laut Selatan yang gelap gulita pada waktu maghrib. Semakin kami naik, jalan semakin sempit. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Kanan kiri kami hanyalah semak belukar lebat. Sementara hari makin gelap. Yang diingat oleh Pak Tarigan hanyalah bahwa di puncak gunung itu tinggal keluarga juru kunci yang telah dikenalnya. Namun jalan itu tampak tak berujung. Sampai suatu titik, kami dicekam ketakutan. Merinding sekujur tubuh. Kami mencoba memutar arah untuk kembali ke bawah, namun tak ada tempat untuk memutar. Seolah-olah kami tak boleh kembali. Akhirnya kami memaksa untuk memutar kembali. Mobil dipacu kencang-kencang ke bawah, kembali ke awal. Namun jalan pulang terasa sangat jauh. Saya sudah pasrah jika kami tidak akan menemukan gapura tempat awal kami datang. Pasrah jika jalan pulang ini akan dibelokkan entah kemana.
Kemudian kami telah berada di warung gule kambing dekat Cilacap. Tiba-tiba kami ingat sesuatu. Malam ini adalah malam Jum’at. Walaupun bukan Jum’at kliwon, kami bersyukur bahwa kami baru menyadarinya di warung gule ini. Bukan ketika masih terjebak di gunung Srandil…
Hari Keempat
Seperti pulang ke rumah.
Pagi itu kami berangkat dengan segar, setelah cukup istirahat pada malam harinya di hotel yang cukup layak. Target hari ini adalah tiga buah site. Nampak mudah, namun tidak. Pertama, ketiga lokasi tersebut tidak terdapat di peta Jawa Tengah yang kami punya. Kedua, seperti biasa, tidak terdapat rute jalan juga dari software GPS tracker kami. Terakhir, letaknya saling berjauhan dan terletak di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.
Site pertama, Demangsari, ditemukan setelah menyusuri rel kereta api cukup jauh. Berikutnya, kami berhasil mencapai Patimuan yang letaknya lebih ke barat. Satu hal yang unik adalah bahwa di tempat ini rata-rata penduduknya punya kemampuan bilingual, bahasa Jawa dan Sunda. Patimuan sendiri secara politik masih tetap bagian dari Jawa Tengah.
Akhirnya, perbatasan Jawa Barat kami tembus juga untuk menemukan site Mergosari. Kami harus melewati daerah Banjar. Sepanjang jalan dari arah Pangandaran ke Majenang, kami dimanjakan oleh hamparan sawah luas dan aspal yang mulus. Makan siang kami nikmati di sebuah warung yang berada di pinggir sawah. Makan lesehan dengan pemandangan hijau sejauh mata memandang. Kami menunaikan shalat Jum’at setelah didahului oleh khotbah dalam bahasa Sunda yang tidak saya pahami. Ah, seperti pulang ke rumah saja..
Kami kembali memasuki Jawa Tengah dari Majenang. Perbatasan itu berupa jembatan yang membelah sungai besar yang belum saya ketahui namanya. Di ujung barat jembatan itu, berdiri kokoh sebuah monumen berupa seorang prajurit bersama harimaunya yang siap menerkam. Ujung timur jembatan menyambutnya dengan menampilkan patung seorang yang memakai surban dengan kuda putihnya. Rupanya, perbatasan ini juga merupakan batas wilayah antara Kodam Siliwangi dengan Kodam Diponegoro.
Malam itu, di hotel Dynasty Purwokerto, saya beristirahat dengan pulas setelah menjamu bibi saya dan keluarganya.
Hari Kelima
Kunjungan.
Perjalanan mencari site menjadi prioritas kedua karena saya tidak mau melewatkan kesempatan untuk berkunjung ke rumah saudara dan teman. Di Purwokerto kami singgah ke rumah bibi saya. Mereka berwiraswasta dengan mengelola Baitul Mal dan toko kelontong. Senangnya bisa bekerja tanpa harus ngikut orang, tanpa harus diawasi, dan tanpa harus menyerahkan laporan.
Selanjutnya saya mengunjungi seorang teman kerja di Purbalingga. Di hari libur itu, seharusnya memang kita habiskan waktu untuk keluarga dan orang-orang yang kita sayangi. Teman saya sedang memancing ketika saya datang. Dia tinggal di daerah yang tenang rupanya. Hmm, sebenarnya saya tidak menganggap perjalanan ini sebagai bagian pekerjaan karena saya menyukainya. Hari-hari itu memang seperti setengah libur. Jauh lebih baik berkeliling Jawa daripada di kantor dibebani oleh orang-orang perfeksionis.
Setelah tiga site ditemukan, saya memutuskan untuk pulang ke Magelang mengingat site di Temanggung belum sempat di-survey. Lebih baik beristirahat di rumah sendiri bukan? Sepanjang perjalanan dari Wonosobo ke Temanggung, hujan sangat deras membayangi kami. Akhirnya kembali lagi ke rumah. Tak ada tempat senyaman ini.
Hari Keenam
Sekadar pulang ke Semarang.
Berangkat agak siang dari Magelang, saya mencapai Semarang dengan mudah setelah menemukan tiga buah site. Dua site memang tugas saya, sedang satu site lagi titipan teman. Ada keperluan katanya, jadi ngga bisa survey. Malam itu saya berada di kos teman. Tempat yang nyaman untuk menghilangkan penat dan menyalurkan ide-ide.
Hari Ketujuh
Bledug Kuwu.
Perjalanan terakhir ini untuk mencari site Sambong, yang terletak antara Blora dengan Cepu. Cukup mudah ditemukan karena terletak di jalan besar penghubung dua kota tersebut. Pada perjalanan pulang, kami sengaja memilih rute yang melewati objek wisata Bledug Kuwu.
Hari Pertama
Inverter Interference.
Waktu saya habis terpangkas setengah hari karena harus mencari jack inverter yang bisa ditancapkan ke cigarette lighter. Sebenarnya bukan masalah jacknya, tapi gara-gara kami nyasar di tempat yang salah. Karena keterbatasan kepandaian orang-orang di bengkel itu. Sekering mobil kami malah putus. Si montir gadungan lebih memeras waktu kami dengan membongkar dashboard mobil. Padahal cukup mengganti sekring, masalah sudah beres.
Saya merasa sangat terbantu dan menjadi percaya diri bahwa pekerjaan ini akan mudah karena panduan GPS receiver dan laptop yang terus dapat menyala 24 jam di mobil. Sekaligus, saya menjadi sangat tergantung dengan teknologi.
Tiga site pertama ditemukan dengan mudah dan menyenangkan karena kami bias melihat posisi kendaraan dan lokasi tujuan di peta pada layar laptop yang lebar. Rute perjalanan mencari site Windusari seolah menjadi napak tilas perjalanan saya ketika mengikuti acara kenaikan tingkat di perguruan silat Merpati Putih beberapa tahun silam. Selanjutnya, kami menghabiskan malam dengan menginap di rumah saya di Magelang.
Sepanjang perjalanan dari Ambarawa dan Magelang, saya menemukan beberapa lokasi menarik atas petunjuk Pak Tarigan (driver saya). Pertama adalah sebuah kafe dengan pemandangan menyongsong jalan. Kemudian, terlihat jejak rel kereta api menyusuri sawah dan bukit-bukit. Itu adalah jalur kereta wisata dari museum kereta api Ambarawa. Ternyata rutenya cukup jauh melewati beberapa kota dan pasti akan sangat layak sekali untuk dicoba. Terutama bersama orang-orang yang kita kasihi. Selanjutnya, saya menemukan pintu masuk ke Losari Coffee Plantation, sebuah tempat eksotis untuk menghabiskan bulan madu di tengah perkebunan kopi. Losari juga menyediakan paket kereta wisata tadi, jika saya tidak salah ingat.
Hari Kedua
Rural and Rural.
Tujuan hari ini menghabiskan site di wilayah Magelang dan Kulonprogo. Hanya site di Ngablak, Magelang, yang menyenangkan buat saya karena terletak dekat dengan objek wisata alam Kopeng. Udara sesejuk itu akan sangat susah saya dapatkan di Jakarta, walau memakai air conditioner terbaik.
Selanjutnya, site Kaliangkrik dan Margoyoso kami temukan dengan cukup mudah walau site kedua agak naik ke bukit. Di sini saya mula menyadari bahwa Telkomsel memang kaya karena hampir tiap lokasi yang akan kami tuju selalu terdapat tower milik mereka. Satu untuk tiap kecamatan, minimal.
Perjalanan ke Samigaluh terasa membosankan dengan kondisi jalan yang rusak. Selanjutnya kami keluar ke Wates. Kemudian, waktu kami terkuras oleh rute jalan yang jauh untuk mencapai Kebumen.
Hari Ketiga
Dikerjain Indosat.
Setelah menemukan site Ambal dan Mirit dengan mudahnya, saya berharap lokasi selanjutnya pun akan demikian. Namun harapan tak seindah kenyataan. Perjalanan ke site Karangsambung melewati jalan desa yang sudah hancur. Truk-truk ukuran sedang lalu lalang mengangkut karang dan kapur. Saya yakin, kendaraan-kendaraan itulah yang selama ini merusak jalan.
Saat itu sudah tengah hari. Saya berdiri di tengah sawah, mencari letak site Karangsambung. Saya mulai ragu dan merasa bahwa ada kesalahan koordinat. Semua site sebelumnya terletak di pinggir jalan. Namun di tengah sawah yang panas seperti ini, GPS receiver menunjukkan bahwa letak site tinggal beberapa puluh meter di depan. Namun di depan sama sekali tidak terlihat ada tempat yang layak. Di sana hanyalah terlihat sawah dan bukit. Bukit, ya.. bukit yang sangat tinggi. Saya mendongak. Dan terlihatlah sebuah tower di puncak bukit.
Sangat ngeri mengingat bagaimana mobil saya mendaki bukit itu. Saya tidak yakin bahwa di atasnya terdapat peradaban. Masih untung bukan musim hujan. Dengan kemiringan tanjakan yang sebagian besar melebihi 45 derajat, tanah becek yang licin akan melempar mobil ke jurang yang dalam. Akhirnya kami mencapai puncak bukit itu. Lokasi ditemukan.
Pengalaman Mistis.
Anda pernah melihat lambang Semar dengan angka 1610 di bawahnya? Selepas dari site Demangsari dan Binangun, kami menemukan jalan alternatif menuju Cilacap. Jalan itu begitu lurus dan panjang. Kami berangkat menuju barat saat sore. Menyongsong matahari terbenam.
Di sebuah perempatan sekitar kroya, kami mengunjungi tempat berkumpul sekte Semar 1610. Tempat ini berupa sebuah asrama besar dengan auditorium di depannya. Kalau tidak salah, namanya adalah Komunitas Penghayat Kepercayaan Cahya Buana. Ini adalah komunitas sinkretis yang memadukan kepercayaan Kejawen dengan sistem lainnya, termasuk kepercayaan Tionghoa. Di situ pun ada tempat untuk sholat.
Di sana terdapat ilustrasi wilayah kekuasaan Ratu Kidul, yang meliputi Laut Selatan dan beberapa gunung di pulau Jawa. Salah satunya adalah gunung Srandil, yang terdapat di dekat asrama itu. Terdapat juga hirarki kekuasaan kosmologi. Semar berada di posisi ketiga. Posisi keempat diduduki oleh Ratu Kidul. Posisi pertama saya agak lupa. Namanya kalau tidak salah Bapa Ibu Dunia atau semacamnya. Mungkin ini semacam Tuhan tertinggi bagi penganut kepercayaan ini.
Dari tempat itu, saya mengalami ketakutan luar biasa ketika kami mencoba mendaki gunung Srandil. Tak tahu siapa yang memulai ide gila ini. Mendaki gunung di ujung Laut Selatan yang gelap gulita pada waktu maghrib. Semakin kami naik, jalan semakin sempit. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Kanan kiri kami hanyalah semak belukar lebat. Sementara hari makin gelap. Yang diingat oleh Pak Tarigan hanyalah bahwa di puncak gunung itu tinggal keluarga juru kunci yang telah dikenalnya. Namun jalan itu tampak tak berujung. Sampai suatu titik, kami dicekam ketakutan. Merinding sekujur tubuh. Kami mencoba memutar arah untuk kembali ke bawah, namun tak ada tempat untuk memutar. Seolah-olah kami tak boleh kembali. Akhirnya kami memaksa untuk memutar kembali. Mobil dipacu kencang-kencang ke bawah, kembali ke awal. Namun jalan pulang terasa sangat jauh. Saya sudah pasrah jika kami tidak akan menemukan gapura tempat awal kami datang. Pasrah jika jalan pulang ini akan dibelokkan entah kemana.
Kemudian kami telah berada di warung gule kambing dekat Cilacap. Tiba-tiba kami ingat sesuatu. Malam ini adalah malam Jum’at. Walaupun bukan Jum’at kliwon, kami bersyukur bahwa kami baru menyadarinya di warung gule ini. Bukan ketika masih terjebak di gunung Srandil…
Hari Keempat
Seperti pulang ke rumah.
Pagi itu kami berangkat dengan segar, setelah cukup istirahat pada malam harinya di hotel yang cukup layak. Target hari ini adalah tiga buah site. Nampak mudah, namun tidak. Pertama, ketiga lokasi tersebut tidak terdapat di peta Jawa Tengah yang kami punya. Kedua, seperti biasa, tidak terdapat rute jalan juga dari software GPS tracker kami. Terakhir, letaknya saling berjauhan dan terletak di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.
Site pertama, Demangsari, ditemukan setelah menyusuri rel kereta api cukup jauh. Berikutnya, kami berhasil mencapai Patimuan yang letaknya lebih ke barat. Satu hal yang unik adalah bahwa di tempat ini rata-rata penduduknya punya kemampuan bilingual, bahasa Jawa dan Sunda. Patimuan sendiri secara politik masih tetap bagian dari Jawa Tengah.
Akhirnya, perbatasan Jawa Barat kami tembus juga untuk menemukan site Mergosari. Kami harus melewati daerah Banjar. Sepanjang jalan dari arah Pangandaran ke Majenang, kami dimanjakan oleh hamparan sawah luas dan aspal yang mulus. Makan siang kami nikmati di sebuah warung yang berada di pinggir sawah. Makan lesehan dengan pemandangan hijau sejauh mata memandang. Kami menunaikan shalat Jum’at setelah didahului oleh khotbah dalam bahasa Sunda yang tidak saya pahami. Ah, seperti pulang ke rumah saja..
Kami kembali memasuki Jawa Tengah dari Majenang. Perbatasan itu berupa jembatan yang membelah sungai besar yang belum saya ketahui namanya. Di ujung barat jembatan itu, berdiri kokoh sebuah monumen berupa seorang prajurit bersama harimaunya yang siap menerkam. Ujung timur jembatan menyambutnya dengan menampilkan patung seorang yang memakai surban dengan kuda putihnya. Rupanya, perbatasan ini juga merupakan batas wilayah antara Kodam Siliwangi dengan Kodam Diponegoro.
Malam itu, di hotel Dynasty Purwokerto, saya beristirahat dengan pulas setelah menjamu bibi saya dan keluarganya.
Hari Kelima
Kunjungan.
Perjalanan mencari site menjadi prioritas kedua karena saya tidak mau melewatkan kesempatan untuk berkunjung ke rumah saudara dan teman. Di Purwokerto kami singgah ke rumah bibi saya. Mereka berwiraswasta dengan mengelola Baitul Mal dan toko kelontong. Senangnya bisa bekerja tanpa harus ngikut orang, tanpa harus diawasi, dan tanpa harus menyerahkan laporan.
Selanjutnya saya mengunjungi seorang teman kerja di Purbalingga. Di hari libur itu, seharusnya memang kita habiskan waktu untuk keluarga dan orang-orang yang kita sayangi. Teman saya sedang memancing ketika saya datang. Dia tinggal di daerah yang tenang rupanya. Hmm, sebenarnya saya tidak menganggap perjalanan ini sebagai bagian pekerjaan karena saya menyukainya. Hari-hari itu memang seperti setengah libur. Jauh lebih baik berkeliling Jawa daripada di kantor dibebani oleh orang-orang perfeksionis.
Setelah tiga site ditemukan, saya memutuskan untuk pulang ke Magelang mengingat site di Temanggung belum sempat di-survey. Lebih baik beristirahat di rumah sendiri bukan? Sepanjang perjalanan dari Wonosobo ke Temanggung, hujan sangat deras membayangi kami. Akhirnya kembali lagi ke rumah. Tak ada tempat senyaman ini.
Hari Keenam
Sekadar pulang ke Semarang.
Berangkat agak siang dari Magelang, saya mencapai Semarang dengan mudah setelah menemukan tiga buah site. Dua site memang tugas saya, sedang satu site lagi titipan teman. Ada keperluan katanya, jadi ngga bisa survey. Malam itu saya berada di kos teman. Tempat yang nyaman untuk menghilangkan penat dan menyalurkan ide-ide.
Hari Ketujuh
Bledug Kuwu.
Perjalanan terakhir ini untuk mencari site Sambong, yang terletak antara Blora dengan Cepu. Cukup mudah ditemukan karena terletak di jalan besar penghubung dua kota tersebut. Pada perjalanan pulang, kami sengaja memilih rute yang melewati objek wisata Bledug Kuwu.
Untuk itu, kami melewati hutan jati sepanjang 30 km. Tak terbayangkan betapa gelap dan sepinya jika harus melewati hutan itu pada malam hari. Kemudian sampai pada daerah Randublatung (secara harfiah berarti pohon kapas yang banyak belatungnya), dan dilanjutkan ke Bledug Kuwu.
Objek wisata ini merupakan sebuah tempat luas di mana terdapat puluhan titik yang menyemburkan lumpur secara periodik. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, ternyata lumpur dan airnya dingin. Yang membuat saya heran, air di situ asin dan banyak terdapat pecahan rumah binatang laut.
Saya sengaja menyewa guide. Bukan apa-apa, tanah di sana sangat labil. Jika kita berjalan tanpa petunjuk, besar kemungkinan kita akan terperosok ke dalam lumpur. Saya telah melihat beberapa pengunjung yang cukup sial. Sebagai catatan, ongkos masuk objek wisata tersebut hanya 500 rupiah. Sewa guide 10.000 rupiah, dan sewa payung 1000 rupiah untuk melindungi diri dari sinar matahari yang sangat menyengat.
Saya mengikuti sang Guide. Di jalan yang kami lewati, saya merasakan bagaimana tanah tersebut sangat labil. Pijakan saya terasa bergoyang-goyang karena terdapat lumpur yang mengalir di bawahnya. Menurut penjelasan Guide, ada beberapa pendapat yang berbeda tentang penjelasan ilmiah tempat tersebut. Beberapa ahli dari Belanda, Jepang, dan Swiss pernah menelitinya. Ada yang berpendapat itu karena gerakan vulkanik. Namun ada pula yang berpendapat bahwa lumpur itu memang terhubung dengan laut. Pendapat lain mengatakan bahwa daerah itu adalah dasar laut yang terangkat pada masa lalu.
Kemudian, banyak terdapat buku yang dijual tentang legenda tempat itu. Sejarah mengaitkannya dengan tokoh bernama Joko Linglung, yang masih punya hubungan dengan Ajisaka (pencipta aksara Jawa). Saya sangat tertarik dengan penjelasan secara mitos seperti ini, selain penjelasan ilmiah. Bagi saya, mitos adalah ’local wisdom’. Saya sendiri belum sempat membaca buku yang saya beli tersebut.
Akhirnya..
Akhirnya perjalanan ini selesai. Saya telah menemukan 24 site yang tersebar dari perbatasan Jawa Barat sampai Jawa Timur. Beberapa sangat mudah ditemukan (banyak di pinggir jalan), namun ada pula yang butuh pengorbanan (seperti puncak bukit di Karangsambung). Mobil saya telah melahap jarak lebih dari 1700km. Kami telah melewati tempat terendah (mendekati 0 mdpl di dekat pantai) hingga ke tempat tertinggi (1409 mdpl, Ngablak). Hal yang menyenangkan.
Sekarang kita masuk ke bagian tidak enaknya: bikin laporan..
Tuesday, March 21, 2006
Monday, February 27, 2006
Dilarang Tidur di Masjid!
Sepertinya saya banyak menemukan peringatan itu di masjid-masjid Bandung. Bahkan di kamar mandi Salman, ada coretan dinding yang mengutuk-ngutuk pengurus masjid sebagai antek PKI, karena tidak mengijinkan orang-orang yang kemalaman untuk tidur di Salman.
Kalau di salah satu masjid Semarang, begini nih tulisannya:
Kalau di salah satu masjid Semarang, begini nih tulisannya:
He2, ramah juga ya. Saya sendiri pernah kemalaman di Jakarta dan terpaksa harus tidur di masjid. Semalam suntuk saya gelisah. Takut ada razia.
Lelaki Semarang Tidak Gentleman
Kalau tidak, mengapa saya sering melihat wanita yang menenteng helm, baik di angkot maupun di lift? Saya yakin, mereka pasti dijemput. Dan asumsi saya, yang menjemput adalah pacar atau suaminya. Dan sepertinya para lelaki ini malas membawa dua helm di motornya. Pating grendel. Masih mending kalau si wanita langsung diturunkan di kantor. Kalo yang harus naik angkot, kan repot amat tuh.
Tour of Duty in Semarang
Tidak banyak tingkah.
Paling tidak begitulah kesan pertama yang saya dapat tentang kota Semarang, ketika berada dalam taksi yang mengantar saya dari bandara menuju Simpang Lima. Kota ini memang tidak terlalu asing bagi saya. Ketika masih kecil, saya pasti mengunjungi Sri Ratu setiap Lebaran.
Sebagai sesama kota besar di Jawa, Semarang nampak tidak terlalu memiliki 'jati diri' kalau dibandingkan dengan Yogya. Namun satu hal, saya sangat mengagumi banyak bangunan dengan arsitektur kolonial di sini. Ada sebuah ruas jalan (saya lupa namanya, yang pasti kalau dari Demak ke Simpang Lima sering lewat sini) yang berlandaskan semacam paving block, dengan serentetan rumah-rumah tua di kanan kirinya. Fantastis!
Jangan lupa juga dengan kuil-kuil Cina (klenteng). Banyak dan megah. Konon klenteng terbesar se-Asia Tenggara ada di sini (kata sepupu saya sih:p). Ada juga gereja besar yang terletak di bukit. Kalau naik angkot Johar-Sampangan, pasti melewatinya. Kalau Boulevard dulu pernah meliput wisata religius dari Masjid Agung Bandung ke Vihara Vipassa di Lembang, sepertinya perlu dibuat edisi lanjutannya di sini nih.
Satu hal yang menjengkelkan, selalu berulang-ulang, terprediksi (bahkan mungkin, terencana), adalah banjir. Kalau mau lihat cuplikannya, bisa klik di bawah ini (saya rekam dari HP, masih format 3gp, bisa dibuka pake software Nokia atau convert dulu ke avi). Banjir (Klik kanan, lalu pilih Save As)
Sekitar sebulan yang lalu, banjir membuat bandara lumpuh dan air setinggi lutut sampai ke peron stasiun kereta.
Tuesday, February 14, 2006
Bye CNOOC..
Apa yang kita inginkan, belum tentu kita butuhkan. Dan kadang, jawaban atas keinginan kita datang di waktu yang tak terduga. Dan di luar itu, beberapa keajaiban terjadi mengarahkan hidup kita, tanpa diminta.
Kemarin, saya mengundurkan diri dari undangan interview user CNOOC. Sesuatu yang tak pernah terbayang sebelumnya. Paling tidak saat bulan puasa kemarin, di mana saat itu saya sangat tertarik dengan tawaran tunjangan offshore dari perusahaan minyak ini. Memang, setelah lulus dari beberapa tahap seleksi awal, saya sangat menunggu undangan tersebut. Dan ketika undangan ini (akhirnya) datang, saya sudah tidak begitu membutuhkannya. Yang tersisa hanyalah sedikit rasa penasaran. Penasaran apakah yang saya lepas ini ikan teri atau ikan kakap:p
Kemarin, saya mengundurkan diri dari undangan interview user CNOOC. Sesuatu yang tak pernah terbayang sebelumnya. Paling tidak saat bulan puasa kemarin, di mana saat itu saya sangat tertarik dengan tawaran tunjangan offshore dari perusahaan minyak ini. Memang, setelah lulus dari beberapa tahap seleksi awal, saya sangat menunggu undangan tersebut. Dan ketika undangan ini (akhirnya) datang, saya sudah tidak begitu membutuhkannya. Yang tersisa hanyalah sedikit rasa penasaran. Penasaran apakah yang saya lepas ini ikan teri atau ikan kakap:p
Thursday, February 09, 2006
Tentang Kartun
Koran terakhir yang saya baca hari ini masih memberitakan protes dan unjuk rasa terkait karikatur Muhammad. Dari awal saya mendengarnya, saya setuju jika apa yang dipublikasikan oleh koran Denmark itu memang salah. Lebih tepatnya, bodoh. Hal ini saya katakan bukan karena sentimen keberagamaan saya terusik. Saya sendiri bukan orang yang senang menghakimi pihak lain menggunakan dalil agama.
Dari kabar yang saya dengar, beberapa koran di barat sana (entah eropa atau amerika) sengaja memperbanyak karikatur ini sebagai bentuk dukungan terhadap kebebasan berekspresi. Dewasa ini 'kebebasan berekspresi' memang telah menjadi tuhan baru. Apa-apa dilawan dengan alasan ini. Artis-artis yang terang-terangan melakukan pornoaksi pun selalu menggunakan istilah ini sebagai tempat berlindung.
Masalahnya, ini bukan tentang kebebasan berekspresi. Saya melihat koran Denmark ini telah gagal dalam memahami posisi sakral Muhammad dalam masyarakat Islam. Saya pernah melihat cuplikan cover majalah yang mendukung koran tersebut dalam masalah ini. Pada cover tersebut, terdapat Buddha, Yesus, dan beberapa tokoh sakral agama lain sedang berdiri di atas awan, membicarakan kasus ini. Saya tidak tahu apa yang mereka katakan, karena bukan dalam Bahasa Inggris. Namun yang saya tangkap, seolah mereka berkata, "Ayolah Muhammad, kita kan sama-sama tokoh sakral. Kita aja ngga pernah marah biar gambar kita ada di mana-mana".
Kalau benar seperti itu, inilah bentuk dukungan yang tidak berdasar. Masyarakat Islam sudah sejak lama melarang pelukisan sang Nabi. Saya sendiri kurang tahu alasannya. Namun bagi saya itu langkah tepat untuk menghindari pengkultusan simbol. Saya yakin bahwa koran Denmark itu, atau kartunisnya, tidak mengetahui tradisi ini. Taruhlah, kalau selama ini tidak terdapat larangan, dan setiap rumah orang Islam selalu memiliki lukisan Muhammad (seperti lukisan Yesus bagi orang-orang Kristen), tentu saja kemarahan umat Islam tidak akan sebesar ini. Mungkin kita hanya akan mempermasalahkan maksud kartunnya saja. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh koran Denmark ini adalah penghinaan dua kali lipat.
Jadi, apresiasi umat Islam terhadap Muhammad tidaklah sama dengan apresiasi umat Kristen terhadap Yesus, atau orang Buddha terhadap Sidharta, atau bahkan apresiasi orang barat terhadap masing-masing tokoh tersebut. Dan hal ini tidak untuk membeda-bedakan kemuliaan mereka. Kasus yang terjadi sekarang hanya menunjukkan kebodohan dan kesombongan sebuah redaksi penerbitan.
Dari kabar yang saya dengar, beberapa koran di barat sana (entah eropa atau amerika) sengaja memperbanyak karikatur ini sebagai bentuk dukungan terhadap kebebasan berekspresi. Dewasa ini 'kebebasan berekspresi' memang telah menjadi tuhan baru. Apa-apa dilawan dengan alasan ini. Artis-artis yang terang-terangan melakukan pornoaksi pun selalu menggunakan istilah ini sebagai tempat berlindung.
Masalahnya, ini bukan tentang kebebasan berekspresi. Saya melihat koran Denmark ini telah gagal dalam memahami posisi sakral Muhammad dalam masyarakat Islam. Saya pernah melihat cuplikan cover majalah yang mendukung koran tersebut dalam masalah ini. Pada cover tersebut, terdapat Buddha, Yesus, dan beberapa tokoh sakral agama lain sedang berdiri di atas awan, membicarakan kasus ini. Saya tidak tahu apa yang mereka katakan, karena bukan dalam Bahasa Inggris. Namun yang saya tangkap, seolah mereka berkata, "Ayolah Muhammad, kita kan sama-sama tokoh sakral. Kita aja ngga pernah marah biar gambar kita ada di mana-mana".
Kalau benar seperti itu, inilah bentuk dukungan yang tidak berdasar. Masyarakat Islam sudah sejak lama melarang pelukisan sang Nabi. Saya sendiri kurang tahu alasannya. Namun bagi saya itu langkah tepat untuk menghindari pengkultusan simbol. Saya yakin bahwa koran Denmark itu, atau kartunisnya, tidak mengetahui tradisi ini. Taruhlah, kalau selama ini tidak terdapat larangan, dan setiap rumah orang Islam selalu memiliki lukisan Muhammad (seperti lukisan Yesus bagi orang-orang Kristen), tentu saja kemarahan umat Islam tidak akan sebesar ini. Mungkin kita hanya akan mempermasalahkan maksud kartunnya saja. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh koran Denmark ini adalah penghinaan dua kali lipat.
Jadi, apresiasi umat Islam terhadap Muhammad tidaklah sama dengan apresiasi umat Kristen terhadap Yesus, atau orang Buddha terhadap Sidharta, atau bahkan apresiasi orang barat terhadap masing-masing tokoh tersebut. Dan hal ini tidak untuk membeda-bedakan kemuliaan mereka. Kasus yang terjadi sekarang hanya menunjukkan kebodohan dan kesombongan sebuah redaksi penerbitan.
Friday, January 27, 2006
Call me Callo
Hari Jum'at yang tenang. Kantor menjadi sepi setelah jum'atan. Sore ini saya berencana pulang ke Bandung (jangan hujan deh,plis). Inget ke Bandung, jadi inget bus. Selanjutnya pikiran melayang ke Terminal Kampung Rambutan.
Ada hal menarik setiap kali saya meninggalkan Jakarta lewat terminal ini. Selama sebulan sebelumnya, hampir tiap minggu saya singgah di terminal ini sehabis wawancara dari Nokia.
Minggu Pertama.
Begitu saya masuk pintu peron, sejumlah calo langsung menyerbu saya. Saya bingung karena belum menentukan pilihan bus. Setahu saya, paling tidak ada 3 kelas bus ke Bandung yaitu ekonomi, AC ekonomi, dan AC eksekutif. Para calo itu berteriak-teriak dan saling menarik badan saya. Arah kerumunan ini jadi tidak jelas. Ya iya lah, mau ke kota mana saja saya belum bilang, calonya sudah maksa-maksa. Setelah saya bilang "Bandung", kerumunan mulai terarah. Calo-calo itu saling menawarkan harga, dan akhirnya pilihan jatuh ke AC ekonomi. Kerumunan bubar.
Minggu Kedua.
Begitu melewati pintu peron, dan melihat calo-calo berdatangan, saya langsung berkata lantang, "Bandung, AC Ekonomi!". Selanjutnya tiba-tiba salah satu calo berteriak ke para calo lainnya, "Tuh kan, kalian dengar katanya". Dan calo-calo itu langsung bubar sebelum sempat menyerbu saya. Seorang calo muncul dan mengantar saya ke bus tujuan. Saya berkesimpulan bahwa mungkin ada kesepakatan antarcalo jika ada penumpang yang sudah menyebutkan pilihan bus secara spesifik, maka hal itu harus dihargai. Dan, sepertinya, mereka menepatinya.
Minggu Ketiga.
Hari ini saya ingin bermain-main. Berpura-pura menjadi seorang aktor terkenal, dan merasa terkenal. Para calo yang menunggu di balik pintu peron saya anggap sebagai fans berat. Dan benarlah, begitu melewati peron, tampaklah para fans berebut mendatangi saya. Sejenak, saya larut dalam simulasi itu. Sengaja saya diam, tidak menentukan pilihan bus. Dan para fans itu berjuang memperebutkan saya. Ya, memperebutkan. Itulah kenyataannya. They want me! Ha ha, saya menikmati detik-detik merasa diinginkan dan diperebutkan. Cukup lama. Sampai akhirnya kerumunan mulai rusuh, dan saya merasa ditarik-tarik dengan keras dan kasar. Saya berteriak menyebutkan bus. Game over.
Ha ha. Inilah the real reality show buat psikopat yang pingin merasa jadi bintang. Selanjutnya saya sungguh merasa kasihan ketika sepasang kakek-nenek sangat kebingungan ketika dikerumuni oleh para calo. Si kakek bingung sampai terduduk di trotoar. Dalam keadaan duduk linglung itu pun, beberapa calo masih menginterogasinya. Kek, anggap aja mereka wartawan infotainment ya..
Ada hal menarik setiap kali saya meninggalkan Jakarta lewat terminal ini. Selama sebulan sebelumnya, hampir tiap minggu saya singgah di terminal ini sehabis wawancara dari Nokia.
Minggu Pertama.
Begitu saya masuk pintu peron, sejumlah calo langsung menyerbu saya. Saya bingung karena belum menentukan pilihan bus. Setahu saya, paling tidak ada 3 kelas bus ke Bandung yaitu ekonomi, AC ekonomi, dan AC eksekutif. Para calo itu berteriak-teriak dan saling menarik badan saya. Arah kerumunan ini jadi tidak jelas. Ya iya lah, mau ke kota mana saja saya belum bilang, calonya sudah maksa-maksa. Setelah saya bilang "Bandung", kerumunan mulai terarah. Calo-calo itu saling menawarkan harga, dan akhirnya pilihan jatuh ke AC ekonomi. Kerumunan bubar.
Minggu Kedua.
Begitu melewati pintu peron, dan melihat calo-calo berdatangan, saya langsung berkata lantang, "Bandung, AC Ekonomi!". Selanjutnya tiba-tiba salah satu calo berteriak ke para calo lainnya, "Tuh kan, kalian dengar katanya". Dan calo-calo itu langsung bubar sebelum sempat menyerbu saya. Seorang calo muncul dan mengantar saya ke bus tujuan. Saya berkesimpulan bahwa mungkin ada kesepakatan antarcalo jika ada penumpang yang sudah menyebutkan pilihan bus secara spesifik, maka hal itu harus dihargai. Dan, sepertinya, mereka menepatinya.
Minggu Ketiga.
Hari ini saya ingin bermain-main. Berpura-pura menjadi seorang aktor terkenal, dan merasa terkenal. Para calo yang menunggu di balik pintu peron saya anggap sebagai fans berat. Dan benarlah, begitu melewati peron, tampaklah para fans berebut mendatangi saya. Sejenak, saya larut dalam simulasi itu. Sengaja saya diam, tidak menentukan pilihan bus. Dan para fans itu berjuang memperebutkan saya. Ya, memperebutkan. Itulah kenyataannya. They want me! Ha ha, saya menikmati detik-detik merasa diinginkan dan diperebutkan. Cukup lama. Sampai akhirnya kerumunan mulai rusuh, dan saya merasa ditarik-tarik dengan keras dan kasar. Saya berteriak menyebutkan bus. Game over.
Ha ha. Inilah the real reality show buat psikopat yang pingin merasa jadi bintang. Selanjutnya saya sungguh merasa kasihan ketika sepasang kakek-nenek sangat kebingungan ketika dikerumuni oleh para calo. Si kakek bingung sampai terduduk di trotoar. Dalam keadaan duduk linglung itu pun, beberapa calo masih menginterogasinya. Kek, anggap aja mereka wartawan infotainment ya..
a poor beginner
Akhirnya bersambung setelah satu tahun, ha..ha.. Begitu kreatifnya otak saya, yang telah menciptakan ribuan alasan bagi saya untuk tidak mengisi blog kembali.
Sekarang saya berada di lingkungan baru. Lingkungan profesi. Bagaimanapun, saya masih seorang alien di sini. Dan sebuah film menceritakan tentang seseorang yang tersesat dan bertahan hidup selama bertahun-tahun di hutan. Dia tetap menulis jurnal hariannya. Bukan apa-apa, hal itu dilakukan agar dia tetap dalam keadaan sadar, dan tidak menjadi gila. Nokia adalah hutan baru yang masih asing, dan kita harus tetap terjaga. Hmm, sebenarnya saya cuma melebih-lebihkan saja. Ha..ha..
Lingkungan baru, rute baru, jadwal tidur baru. Tapi hidup takkan berhenti dan menoleh. Tak ada alasan untuk berkata, "Tunggu dong, aku belum siap..". Setiap perubahan besar dan revolusi dalam diri, lingkungan sosial, atau negara selalu terjadi dalam waktu singkat. Dalam selang itu, kita akan selalu dituntut untuk berubah dan menyesuaikan diri. Konon, Paulo Coelho menulis trilogi On the 7th Day-nya karena hal semacam ini. Tujuh hari cukup untuk mengubah dunia.
Sekarang saya berada di lingkungan baru. Lingkungan profesi. Bagaimanapun, saya masih seorang alien di sini. Dan sebuah film menceritakan tentang seseorang yang tersesat dan bertahan hidup selama bertahun-tahun di hutan. Dia tetap menulis jurnal hariannya. Bukan apa-apa, hal itu dilakukan agar dia tetap dalam keadaan sadar, dan tidak menjadi gila. Nokia adalah hutan baru yang masih asing, dan kita harus tetap terjaga. Hmm, sebenarnya saya cuma melebih-lebihkan saja. Ha..ha..
Lingkungan baru, rute baru, jadwal tidur baru. Tapi hidup takkan berhenti dan menoleh. Tak ada alasan untuk berkata, "Tunggu dong, aku belum siap..". Setiap perubahan besar dan revolusi dalam diri, lingkungan sosial, atau negara selalu terjadi dalam waktu singkat. Dalam selang itu, kita akan selalu dituntut untuk berubah dan menyesuaikan diri. Konon, Paulo Coelho menulis trilogi On the 7th Day-nya karena hal semacam ini. Tujuh hari cukup untuk mengubah dunia.
Subscribe to:
Posts (Atom)